20 Mei 2021, 485 View
RedaksiDaerah.com - Kaum intelektual hari ini seperti terlelap penjang dikasur yang empuk saat musim hujan turun. Begitu perumpamaan kondisi kaum intelektual yang ada dilingkungan akademis dan dilingkungan organisasi pencerahan. Saat carut marut, warga negara butuh perlindungan dan arah kebenaran mereka (intelektual) malah membisu.
Saat ini intelektual tidak bisa melahirkan hal yang bernada kebaikan bagi bangsa yang menurun indeks demokrasinya. Tidak ditemukan lahirnya ide-ide, gagasan, otokritik dan kritisasi terhadap kebijakan yang membelenggu kebahagian masyarakat. Semua sunyi mebiarkan kegalauan semakin memuncak.
Lebih menyedihkan kalangan intelektual tidak bisa memberi otokritik didalam organisasi yang ditempati. Mereka seperti tidak tertarik atau memang sudah terbelenggu dengan prilaku pragmatis demi kepentingan sesaat. Dimanapun organisasinya dan posisinya berada.
Organisasi atau lembaga negara seolah bebas dari kritik. Yang memprihatinkan tidak soal orang lain, tetapi tentang dirinya sendiri yang kacau dan tidak ada yang mengritik. Semua seolah-olah bebas dari kritik dan sudah lama juga tidak ada kritik akhirnya.
Sudah lama tidak ada kritik, bukan berarti anti-kritik. Tetapi apakah keadaan penguasa yang menciptakan suatu kondisi dimana tidak mengakomodir ruang untuk kritik. Kritik sangat diperlukan demi kebaikan bangsa dan agar kekuasaan tidak menyimpang.
Namun dengan harapan kritik yang positif tentunya. Diantara intelektual yang ada di keanggotaan organisasi. Sebagai contoh mereka (orang dalam) tidak sadar satu sama lain dengan tidak adanya kritik tentang dirinya sendiri, atau tentang organisasi, atau ada yang salah dengan negara ini.
Jangankan mengkritik yang sifatnya besar. Sadar atau tidak sadar, tidak terbangunnya budaya kritik adalah sebuah kekeliruan dikalangan intelektual. Keliru karena tidak terbangunnya dinamisasi yang baik. Kekeliruan pada semua bagian yang terafiliasi dengan kekuasaan itu mengenai ketidaksadaran dirinya dengan adanya sebuah kritik, atau ketiadaan kritik itu sendiri.
Kekeliruan intelektual selanjutnya adalah sebuah kesadaran yang menganggap bahwa kekeliruan, kejanggalan atau kesalahan yang berada di sekitarnya tidak disadari sebagai sebuah kekeliruan, yang harus diluruskan dan dicari solusinya.
Tidak melakukan kritik oleh intelektual, namun merasa seolah-olah semuanya berjalan baik-baik saja, tidak ada masalah, apalagi pertentangan. Hanya karena dirinya merasa sudah tahu, kemudian menutup diri dengan pemikiran lain. Asyik dengan pemikiranya sendiri tampa melihat kondisi dilapangan.
Merasa ideal, padahal belum tentu. Hanya karena merasa sudah tahu banyak, belajar dengan hal-hal baru sebagai bahan kritikkan disekitarnya adalah hal-hal yang mulai tabu. Jangankan tergerak, mau saja tidak.
Akhirnya menjadi sebuah paradoks. Saat kekeliruan itu semakin berkembang dengan evolusi dan dinamisasi yang berasal dari dalam dan luar. Kondisi ini justru mengalami perkembangan yang samar, sebuah involusi kehancuran bangsa dan negara.
Dianggap sebuah perubahan yang justru tidak memajukan, tetapi membuat mundur! Akan muncul kehancuran. Perlahan arah perubahan secara involusi ini mengakibatkan kemunduran-kemunduran signifikan yang mempersempit skema berpikir rakyat. Kesalahan siapa? Tentu kesalahan para intelektual.
Jangan disalahkan ucapan Presiden soal Propinsi Padang yang terjadi karena intelektual istana tidak membantu mempersiapkan ucapan yang benar. Jangan salahkan kondisi negara makin terpuruk karena intelektual saling serang seperti debat kusir yang tidak berkesudahan.
Sekarang saatnya intelektual itu kritis, berikan otokritik dan kritikan kepada kekuasaan (pemerintah) agar rakyat bisa bahagia. Saat intelektual tampil didepan menyampaikan kebenaran tanpa takut dengan penindasan dan kemiskinan.
Editor : Setio Koguci
0
0
1
0
0
0