27 Okt 2025, 517 View
Oleh: Fernando Stroom , wartawan bertugas di Kabupaten Tanah Datar.
Skandal asmara di tubuh pemerintahan Nagari Tanjung bukan cuma soal cinta terlarang, tapi juga tentang penyakit lama birokrasi kita: kehilangan rasa malu dan tanggung jawab publik.
Begini ceritanya. Seorang bendahara nagari, yang seharusnya sibuk menghitung uang rakyat, malah ketahuan sibuk menghitung “rindu” dengan seorang pria beristri. Ironis? Jelas. Tapi yang lebih ironis lagi, adalah ketika pejabat di atasnya justru terkesan menutup mata — demi menjaga citra pemerintahan yang, sayangnya, sudah lebih dulu tercoreng.
Skandal ini bukan gosip murahan, tapi potret suram tentang bagaimana moral publik kini sering tumbang di bawah meja birokrasi. Ketika percakapan mesra bocor ke publik, masyarakat bukan sekadar marah — mereka kecewa, karena yang melakukan bukan warga biasa, melainkan perangkat yang digaji dari uang nagari.
Kita tentu sadar, jabatan publik bukan cuma urusan gaji dan jabatan. Ia adalah mandat kepercayaan. Tapi tampaknya, sebagian aparatur lupa: kepercayaan itu tidak bisa dibeli, tidak bisa diwariskan, dan sekali retak — ia jarang utuh kembali.
Yang lebih menyakitkan bagi warga adalah reaksi dari atasannya. Walinagari yang seharusnya menjadi penegak disiplin justru memilih nada diplomatis. “Kami akan telusuri,” katanya. Kalimat yang sudah terlalu sering kita dengar setiap kali pejabat terpojok. Bahasa aman yang terdengar seperti: “tolong, beri kami waktu untuk mencari alasan.”
Padahal, publik tak butuh penjelasan yang manis — mereka butuh tindakan nyata. Karena bila seorang bendahara yang mengelola uang rakyat saja tidak bisa menjaga integritas pribadinya, bagaimana mungkin publik percaya ia mampu menjaga keuangan nagari?
Perselingkuhan dalam birokrasi bukan hanya soal moral pribadi, tapi juga indikator lemahnya sistem pengawasan dan kepemimpinan. Di banyak nagari, rasa “kekeluargaan” sering menjadi tameng untuk menghindari sanksi. Kalimat sakti seperti “kita selesaikan secara internal” seringkali berarti: diam-diam, tutup rapat-rapat, biar reda sendiri.
Tapi sayangnya, publik hari ini bukan publik 10 tahun lalu. Di era tangkapan layar dan grup WhatsApp, tidak ada lagi ruang gelap untuk sembunyi. Sekali aib bocor, ia menyebar lebih cepat dari surat keputusan.
Sikap masyarakat Tanjung yang berani bersuara patut dihargai. Mereka tidak sekadar menuntut kepala, tapi menuntut kehormatan nagari dikembalikan. Mereka ingin melihat bahwa jabatan publik masih punya makna moral, bukan sekadar status di stempel kantor.
Kalau pemerintahan Nagari Tanjung benar-benar ingin memulihkan wibawa, satu hal yang harus dilakukan: transparansi tanpa basa-basi. Proses, ungkap, dan sanksi. Jangan biarkan kesalahan moral dipoles jadi urusan pribadi. Karena ketika pejabat publik berbuat aib, maka aib itu bukan lagi miliknya — melainkan milik seluruh institusi.
Dan bila kasus ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, jangan salahkan masyarakat bila nanti menyimpulkan: pemerintah nagari bukan sedang memimpin, tapi melindungi.
Nagari Tanjung kini diuji — bukan hanya oleh skandal cinta dua insan, tapi oleh seberapa besar keberanian pejabatnya untuk memilih: bersih atau bersekongkol dalam diam.
0
0
0
0
0
1