Opini

11 Okt 2025, 106 View

“Adat Basandi Syarak, Tapi Pejabat Basandi Kursi Empuk?”

Oleh: Fernando Stroom 

RedaksiDaerah.com – Urang Minangkabau dikenal dengan dua warisan agung: taat pada agama, dan beradab dalam budaya. Tapi di Kecamatan Lima Kaum, warisan itu tampaknya mulai retak. Dalam pelaksanaan MTQ Nasional ke VI tingkat Kecamatan Lima Kaum di Mesjid Raya Lima Kaum, para peserta kafilah — qori dan qoriah muda — terlihat duduk di lantai halaman tanpa alas, sementara para pejabat duduk nyaman di kursi empuk di bawah tenda kehormatan.

 

Ironis? Sangat.

Acara yang seharusnya memuliakan kalam Allah malah menampilkan potret timpang antara yang berkuasa dan yang berjuang membawa ayat-Nya. Sungguh pemandangan yang mencederai falsafah adat Minangkabau: “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”

 

Pejabat seharusnya menjadi pelindung, bukan penonton. Apalagi di ranah yang dikenal menjunjung tinggi nilai malu dan martabat manusia. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: para penghafal Al-Qur’an dibiarkan bersila di lantai halaman mesjid, disinari panas dan debu, tanpa sedikit pun empati dari mereka yang berdasi.

 

Jika adat Minang mengajarkan bahwa “pemimpin itu payuang panangkok hujan”, maka di Lima Kaum, payung itu tampaknya hanya terbuka untuk pejabat — bukan untuk rakyat, bukan untuk qori dan qoriah yang membawa cahaya agama.

 

Yang lebih menyakitkan, semua terjadi di halaman rumah Allah. Sebuah tempat di mana kesetaraan seharusnya nyata, bukan sekadar retorika. Ketika tamu Allah dibiarkan duduk di lantai, sementara mereka yang seharusnya melayani duduk di singgasana, pertanyaannya sederhana: di mana rasa malu itu disembunyikan?

 

Adat Minangkabau tidak lahir untuk dipajang di baliho, melainkan untuk dihidupkan dalam tindakan. Tapi sayang, kini “adat” hanya jadi slogan, dan “syarak” hanya jadi seremonial.

 

Lalu apa arti MTQ jika nilai Al-Qur’an hanya diucapkan di podium, bukan diwujudkan di lapangan? Mungkin benar kata pepatah lama: “Nan dipakai hanyolah baju, nan disimpan adalah malu.” Tapi kini, bahkan baju pun tampak lebih berharga daripada rasa malu itu sendiri.

 

 

---

 

????️ VERSI 2 — MAJALAH (Reflektif, Sastrawi, Namun Tetap Kritis)

 

Judul:

“Ketika Kursi Empuk Mengalahkan Lantai Iman”

 

Lima Kaum menyimpan sejarah panjang tentang adat, agama, dan martabat. Di sinilah dahulu, pepatah Minang lahir bukan dari kata-kata kosong, melainkan dari laku hidup yang berakar pada iman. “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” bukan sekadar semboyan, melainkan simpul yang menyatukan dunia batin dan tindakan nyata urang Minangkabau.

 

Namun pada suatu pagi di halaman Mesjid Raya Lima Kaum, simpul itu seolah terurai. Di tengah semarak Musabaqah Tilawatil Qur’an, para kafilah muda — pembawa suara kalam Ilahi — duduk bersila di lantai tanah, tanpa alas, tanpa payung, di bawah terik mentari. Di sisi lain, para pejabat duduk tenang di kursi empuk, dalam tenda teduh, diapit mikrofon dan sambutan panjang.

 

Betapa janggal. Betapa getir.

Acara yang semestinya menjadi ruang pemuliaan Al-Qur’an justru menampakkan wajah ironis dari kemunafikan sosial. Nilai “syarak” terucap lantang dalam pidato, tetapi lenyap dalam perlakuan.

 

Dulu, dalam adat Minangkabau, pemimpin disebut “batang tarandam”— tempat berpijak yang meneduhkan. Tapi kini, batang itu seolah kering, kehilangan teduhnya. Yang tumbuh hanyalah gengsi dan ego.

 

Apakah masih pantas kita menyebut diri “urang basandi syarak” jika di halaman mesjid pun kita gagal menunjukkan adab dan kasih sayang? Apakah benar adat itu masih hidup, atau hanya tinggal dalam naskah pidato sambutan pejabat?

 

Kursi empuk memang tak berdosa, tapi mereka yang memilih duduk di atasnya sembari membiarkan generasi Qur’ani bersila di lantai — itulah yang patut diadili oleh nurani. Sebab dari lantai itulah, mungkin Allah sedang menakar: siapa yang benar-benar memuliakan kalam-Nya, dan siapa yang hanya menjadikannya panggung kehormatan.

 

Jika Lima Kaum ingin disebut sebagai tanah yang masih menyimpan marwah Minangkabau, maka harus ada yang berani bersuara. Karena diam terhadap ketidakadilan bukanlah adab, melainkan bentuk halus dari pengkhianatan nilai.

 

Dan mungkin, dari debu halaman mesjid itu, suara para qori muda yang duduk bersila justru akan menjadi pengingat paling jujur bagi kita semua — bahwa adat dan syarak hanya akan hidup kembali jika hati manusia lebih lembut dari kursi yang didudukinya.

Apa yang anda rasakan setelah membacanya...?

love

1

Suka
dislike

0

Kecewa
wow

0

Wow
funny

0

Lucu
angry

2

Marah
sad

0

Sedih