3 Okt 2025, 428 View
Oleh: Fernando Stroom
RedaksiDaerah.com — Kasus dugaan keracunan massal yang menimpa puluhan siswa TK dan SD di Kabupaten Agam dari program Bantuan Gizi Nasional (BGN) membuka luka baru soal kualitas pengawasan makanan di Sumatera Barat. Pertanyaan besar yang kini mengemuka: benarkah program yang digadang-gadang untuk menyehatkan anak justru berubah menjadi ancaman kesehatan?
Kita bicara tentang masa depan generasi, bukan sekadar nasi bungkus basi. Anak-anak yang seharusnya bersemangat belajar, justru terkapar di puskesmas. Pemerintah daerah tampak gagap, sementara kementerian di pusat lebih sibuk memoles citra ketimbang menjawab masalah mendasar: bagaimana standar keamanan pangan program ini?
Program BGN digulirkan dengan janji mulia: menekan angka stunting, memperbaiki gizi anak, sekaligus meningkatkan produktivitas lokal. Tapi di lapangan, pelaksanaannya kerap tambal sulam. Menu makanan tak jarang asal jadi, pemasok dipilih tanpa uji kompetensi ketat, dan pengawasan gizi hanya formalitas di atas kertas. Lalu kita kaget ketika anak-anak muntah, pusing, bahkan ada yang dirawat serius di rumah sakit?
Yang lebih menyakitkan, kasus Agam bukanlah sinyal pertama. Keluhan tentang makanan basi, tidak higienis, dan kualitas bahan yang meragukan sudah lama terdengar. Tapi suara-suara itu kerap dipinggirkan dengan dalih "insiden kecil". Kalau benar kecil, mengapa puluhan anak bisa tumbang sekaligus?
Opini publik kini menuntut transparansi: siapa yang bertanggung jawab? Apakah hanya kontraktor lokal? Atau sistem lelang yang dipaksakan cepat, tanpa mengutamakan keamanan pangan? Tidak adil jika semua kesalahan ditumpahkan ke penyedia katering, sementara regulasi dan pengawasan dari atas dibiarkan ompong.
Jika pemerintah serius dengan BGN, evaluasi total wajib dilakukan. Mulai dari SOP pengolahan makanan, standar gizi, hingga sistem distribusi. Jangan sampai program bergizi berubah jadi bom waktu kesehatan.
Selain itu, orang tua berhak tahu: makanan yang masuk ke mulut anak mereka diproduksi di mana, oleh siapa, dan dengan standar apa. Bukan sekadar amplop plastik berisi nasi lauk seadanya. Transparansi adalah kunci agar kepercayaan publik tak runtuh.
Lebih jauh, Sumatera Barat harus berani bertanya: apakah program ini memang solusi, atau justru masalah baru? Jangan-jangan BGN lebih mirip proyek politik jangka pendek yang buru-buru dijalankan demi kepentingan citra, ketimbang benar-benar menyehatkan anak bangsa.
Kalau hari ini Agam menjadi korban, besok mungkin giliran daerah lain. Maka kasus ini jangan dibiarkan jadi berita satu hari. Bukan sekadar “ada apa dengan BGN?”, tetapi juga “mau dibawa ke mana nasib generasi kita jika gizi anak hanya jadi proyek tender?”
0
0
0
0
0
0