4 Jul 2021, 280 View
PADANG, REDAKSIDAERAH.Com - Pada era Milenial saat ini, kalangan mahasiswa memiliki tantangan dan keresahan tersendiri ditengah-tengah komplitnya akan persoalan bangsa. Keresahan ini akibat langkanya analisa dalam kajian-kajian Kebangsaan, Keindonesiaan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom).
Berkuasanya Oligarki yang mesra dengan penguasa menjadi tantangan bagi mahasiswa sebagai ikon Pressure Group (Baca: Kelompok Penekan).
Mahasiswa seharusnya menjadi Leadership (Pemimpin), sebagai poros pergerakan dan Agent Of Change (Agen Perubahan),
Melihat situasi ini, penulis menangkap salah satu hal dilapangan, sesuai kondisi nyata seperti gagalnya penolakan RUU Omnibus Law silam.
Kegagalan tersebut sebagai bukti bahwa, kokohnya Oligarki mendapat dukungan kuat dari elit penguasa yang berhasrat menguasai objek-objek vital sumber daya yang dimiliki bangsa ini.
Penulis menyampaikan kemirisan dalam pandangan keironian, setali dengan serangan pandemi Covid 19 yang melanda negeri ini, juga melumpuhkan ekonomi, serta daya kritis mahasiswa dalam menanggapi isu-isu lokal, nasional dan global.
Isu-isu toleransi dan keberagaman begitu populer menguras akan nalar mahasiswa. Terkukung akan hal polarisasi politik identitas yang didendangkan oleh para elit politikus, sehingga mahasiswa yang katanya Milenial, sekejap latah ikut-ikutan memperbincangkannya.
Padahal ada yang jauh lebih penting, yaitu polemik strategis yang sunyi kurang perhatian. Seperti ; isu-isu lingkungan, keberagaman, bansos Covid 19 yang dikorupsi dan juga permasalahan lainnya, hampa tanpa adanya sentuhan gerakan kesosialan/kerakyatan.
Sementara kerusakan lingkungan, penggusuran dan perampasan hak ruang hidup, dipolitisir sebagai alat manajemen konflik rakyat perkotaan dan pedesaan, sengaja ditabrakan antara Wong Cilik dengan aparatur yang dimiliki oleh elit.
Kenapa penulis menyampaikan pandangan tersebut, dilansir dari BBC News Indonesia, Senin (07/05/2021).
"Dimana ada tambang, disitu ada penderitaan warga. Dimana ada tambang disitu ada kerusakan lingkungan, tidak akan bisa berdampingan," kata Merah Johansyah Kordinator Jaringan Tambang (JATAM).
Problematika ini akan terus muncul seiring kerakusan elit penguasa, berkongsi dengan para Oligarki di negeri ini. Setiap skema alur pengalihan isu akan muncul deras seketika, karena untuk menutupi kebohongan lama, maka, akan muncul kebohongan-kebohongan baru, agar phobia (baca: ketakutan) akan terus tertanam pada masyarakat. (Ferdian, aktivis Muda NU).
Penulis mengambil contoh salah satu kasus di Sumatera Barat seperti ; gerakan penyelewengan bansos Covid 19 di Sumatera Barat, kini telah di SP3 kan oleh kepolisian. Diartikan kasus tersebut telah dihentikan oleh pihak berwenang (21/06/2021, Detik.com).
Juga tak luput dari perhatian, kasus pertambangan ilegal yang berdampak pada kerusakan ekosistem lingkungan, seperti ; tambang ilegal di Gumanti, Solok, pembabatan hutan lindung di Palembayan, Agam, galian C di Lubuk Alung, Padang Pariaman dan beberapa permasalahan lainnya yang tersebar di wilayah kabupaten/kota di Sumatera Barat.
Lalu, dimana peran PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Sumatera Barat ? Pasca Konggres XX tak lagi mengudara, hilang frekuensi dalam dunia pergerakkannya.
Menolak lupa, dengung suara 'TOA' yang menggelegar, saat melakukan aksi gerakan sosial penyelewengan bansos Covid 19 di Sumatera Barat silam tak lagi terdengar keberlanjutannya.
Tidak hanya aksi gerakannya yang meredup, namun, andil dalam kajian-kajian akan tambang ilegal, pengawasan isu lingkungan dan seputar kajian lainnya tak lagi bergelora seperti yang sudah-sudah.
Terdengar sayup-sayup apakah mulai terjadi pergeseran pergerakkan ? atau PMII di Sumatera Barat tidak memandang hal-hal demikian, karena terbuai akan eksistensial nasional, bukan pada primodial asalnya.
Kondisi pada saat ini penting, dibanding eksistensi strukutural yang hanya bersifat seremonial, merunut pada populeritas semata saja. Jangan dianggap ketinggalan zaman, karena hanya berbicara seputar pengetahuan isu lokal saja.
"Menurut penulis dimulai dari Lokal Wisdom, itu sangat wajar, juga tak muluk-muluk, karena berbicara perubahan skala nasional dimulai terlebih dahulu dari perubahan daerah kita sendiri," ungkap penulis.
Sehubungan dengan keberdayaan dan kebergunaan kader-kader PMII di Sumatera Barat, harus lebih berani serta percaya diri dalam mengambil suatu keputusan. Rela tidak menjadi populer ditengah segelintiran kader yang mengusung 'Teori Sosial Populer', dengan mengaktualisasikan paradigma status sosial sebagai perangkat analisis politiknya.
Dalam ungkapan pepatah Minang,
"Raso Dibaok Naiak, Pareso Dibaok Turun, mengartikan pembinaan pribadi yang elok, seharusnya dimulai dari lingkungan terdekat, seperti anak kemanakan," lugas sang penulis.
Menurut hemat penulis, setiap problematika isu-isu lokal, nasional serta global harus melewati pengkajian, diskursus yang dimasukan dalam muatan kaderisasi terlebih dahulu. Diperkaya dengan literasi mulai dari buku, majalah, koran, jurnal juga artikel. Ini merupakan modal kader agar tak gagap dalam diskusi juga dalam forum resmi.
Mengingat yang disampaikan oleh Ketua terpilih PB PMII sahabat Muhammad Abdullah Syukri (Gus Abe) periode 2021-2024, saat pidato selepas pelantikan. Menegaskan perihal 'Jihad Jempol', artinya selain memahami segala isu lokal, nasional serta global juga menguasai teknologi handphone (Gadget), yang dimiliki kader PMII secara cerdas untuk bela bangsa, ulama, alumni dan rakyat lewat medsos (media sosial).
Kumulasi tersebut juga didasari penguatan sumber/data. Baru diimplementasikan gerakan nyata adil dan merata, agar bukan disebut 'Gerakan Pepesan Kosong', hanya menguasai teori, namun, mandul dalam kenyataan membela setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh elit negara, yang tak pro rakyat, juga mendiskreditkan rakyat, dalam mendapatkan setiap haknya sebagai warga negara yang berkedudukan di Indonesia, termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1-3).
(Penulis,Yoga Kurnia Pratama, S.Pd, Demisioner PK PMII STKIP PGRI SUMBAR, Bendum PC PMII Kota Padang 2019-2020)
Editor : Hendra Putra
2
0
1
1
0
0