3 Okt 2020 - 907 View
Solok Selatan |Sumbar| - Situasi yang sedang dihadapkan pada masyarakat Bidar Alam dengan PT Ranah Andalas Plantation (PT RAP) semakin memanas dan meruncing. Hal ini bermula dengan adanya perjanjian kerjasama pembangunan Kelapa Sawit di tanah masyarakat dengan PT RAP sejak tahun 2006.
Dalam siaran pers bersama yang disampaikan LBH Padang dan Walhi Sumbar pada hari Selasa 29 September 2020 lalu, masyarakat disebutkan merasa PT RAP tidak mematuhi isi perjanjian yang telah disepakati para pihak hingga merugikan masyarakat berpuluh-puluh tahun. Sehingga masyarakat melaporkan kasusnya kepada LBH Padang dan Walhi Sumbar untuk sesegera mungkin mendapat solusi atas penyelesaian permasalahan ini.
Dalam relis tersebut, petani Bidar Alam sedang menghadiri pemanggilan oleh pihak Polres Solok Selatan atas dugaan tindak pidana pengancaman yang dilakukan saat konflik yang semakin memanas antara petani Bidar Alam melawan PT RAP. Hal ini dipicu karena PT RAP terus menerus melakukan panen namun tidak memberikan keuntungan apa-apa pada pihak masyarakat.
Ditempat terpisah, puluhan petani Bidar Alam melakukan panen sawit yang berada di tanahnya masing-masing karena jengah dengan PT RAP yang tidak memenuhi janjinya. Situasi akibat Covid-19 yang semakin menyengsarakan masyarakat membuat masyarakat mesti bertahan hidup dengan cara apapun. Namun panen ini, dihalangi oleh beberapa orang yang diduga berasal dari Kesatuan Brimob dengan menggunakan senjata lengkap yang dapat memicu konflik yang lebih luas.
Masih dalam relis tadi, atas situasi tersebut, Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani meminta semua pihak apalagi institusi Kepolisian untuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani Bidar Alam.
Keberadaan Brimob di lokasi diduga menyalahi amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan dapat terkategori pada dugaan penyalahgunaan wewenang.
Institusi Kepolisian mesti tahu bahwa PT RAP hingga saat ini tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan perizinan lainnya telah habis jangka waktunya sehingga tanah-tanah tersebut merupakan milik petani Bidar Alam bukan milik PT RAP. Oleh sebab itu, kami akan sesegera mungkin meminta penjelasan tertulis dari Kepolisian Daerah Sumatera Barat atas penurunan anggotanya ke lokasi Bidar Alam, ucap Indira dalam siaran pers, Selasa (29/09/20).
Secara terpisah, Uslaini Direktur Eksekutif Walhi Sumbar meminta semua pihak untuk menahan diri dan menggunakan pendekatan persuasif serta menghindari terjadinya kontak fisik yang berujung kekerasan yang akan merugikan banyak pihak. Para pengambil kebijakan baik di tingkat Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Solok Selatan harus melakukan upaya penyelesaian persoalan ini secara cepat dan tidak berlarut. Pengerahan aparat keamanan oleh perusahaan dapat memicu konflik yang lebih besar jika aparat keamanan tidak bersikap netral.
Juru Bicara / sekaligus Kuasa Hukum PT RAP dari JJA, Hamdani didampingi Jon Amalta, SH dan Khairul Jafni, SH mengatakan, pihak PT RAP tidak setuju masyarakat diintimidasi.
"Kita juga tidak setuju masyarakat diracuni dengan opini yang salah serta dibohongi oleh pihak tertentu. Sebaiknya pihak yang mewakili masyarakat tersebut jujur kepada masyarakat dari pada masyarakat itu sendiri mengetahui sebenarnya," sebut Hamdani.
Ia juga meminta perwakilan masyarakat yang berurusan dengan PT RAP selama ini untuk terbuka dan berterus terang kepada masyarakat.
Hak Guna Usaha (HGU) kami dipersulit keluar oleh beberapa pihak yang diduga sengaja memeras kami selama berinvestasi. Kami tidak tidak pernah menyalahkan masyarakat, karena masyarakat tidak bersalah. Maka dari itu, kami tidak setuju dengan intimidasi terhadap masyarakat, ucap Hamdani.
"Untuk diketahui oleh semua pihak, bahwasanya masyarakat Bidar Alam Kabupaten Solok Selatan dan kami selaku investor adalah korban", jelas Hamdani kepada media RedaksiDaerah.com, Sabtu (03/10/20).
Terkait dengan pernyataan Walhi Sumbar dalam siaran pers yang dikeluarkan pada tanggal 29 September 2020 yang menyatakan, masyarakat merasa PT RAP tidak mematuhi isi perjanjian yang telah disepakati para pihak hingga merugikan masyarakat berpuluh-puluh tahun.
Pihak PT RAP mempertanyakan pernyataan tersebut. PT RAP merasa pernyataan tersebut berkelebihan, kata Hamdani.
"Apa dasar Walhi Sumbar mengatakan berpuluh-puluhan tahun?? Walhi Sumbar juga menyebut konflik ini bermula dengan adanya perjanjian kerjasama pembangunan Kelapa Sawit di tanah masyarakat dengan PT RAP sejak tahun 2006.
Nah, kalau dari tahun 2006 dan sekarang tahun 2020, berartikan ini baru 14 tahun. Kalau 14 tahun, masih termasuk belasan tahun dan bukan berpuluh-puluhan tahun, tutur Hamdani.
"Galilah data dan fakta yang benar sebaik mungkin sesuai kenyataan dan bersikap adillah. Kami berharap pihak LBH Padang dan Walhi Sumbar tidak salah mengambil sikap dan pernyataan agar keadaan tidak semakin runcing," ungkap Hamdani.
Hamdani menambahkan, PT RAP sangat berharap sekali, adanya Tokoh atau pihak berkompeten yang mampu untuk mediasi benang tercabut, tepung tidak berserakan. Masalah bisa diselesaikan dengan baik, bijaksana dan adil.
Semua pihak yang terlibat didalam hal ini tidak ada yang dirugikan. Ujungnya, Kabupaten Solok Selatan tetap dinilai layak untuk berinvestasi di beberapa sektor. Masyarakat bisa menjalankan kehidupan sehari-hari dan daerah ini menerima investasi untuk kemajuan, imbuh Hamdani.
"Tak ada lagi pihak-pihak yang merugikan masyarakat setempat, Pemerintah Daerah dan pihak Investor serta siapa saja hanya untuk sebuah kepentingan kelompok atau oknum seorang", tutup Hamdani.
Sumber : Relis bersama LBH Padang dan Walhi Sumbar
Editor : Robbie
0
0
0
0
0
0